GERAKAN SOSIAL MEMBANGUN SEMANGAT

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Segera setelah kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 68, seluruh pengurus, anggota organisasi sosial dan perorangan yang peduli terhadap pembangunan sosial kemasyarakatan di Indonesia berkumpul di Kota Pahlawan Surabaya untuk menyegarkan tekad dan perjuangan memberdayakan keluarga Indonesia guna mengisi kemerdekaan dengan saling peduli dan mengajak semua kalangan bekerja keras untuk maju mengurangi kesejangan dengan hati nurani dan kasih sayang yang mantab sebagai satu bangsa yang kokoh dan maju.

 Secara bulat semua kalangan berpihak kepada upaya pemberdayaan yang mengacu pada keberpihakan pada rakyat kecil dengan mengajak semua kalangan bekerja keras dan cerdas untuk memperjuangkan kebersamaan, kepedulian, berbagi kesejahteraan yang adil dan merata yang hakekatnya menjadi barang berharga karena dunia makin manja dan diselimuti dengan keserakahan yang memberikan bobot sangat tinggi pada upaya pemenuhan kebutuhan pribadi yang tidak pernah ada habisnya.

 Padahal, para sesepuh bangsa sejak awal perjuangannya sepakat mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kesejahteraan yang semua upayanya diabdikan sepenuhnya kepada sebesar-besar kepentingan seluruh anak bangsa. Pernyataan tekad itu mematri secara kuat kepada para sesepuh dan pejuang bangsa yang sering dianggap sebagai phenomena ideal yang sukar dipraktekkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dunia nyata, kata sebagian orang, bukanlah dunia ideal karena tidak pernah lepas dari hawa nafsu dan keserakahan pribadi yang pada hakekatnya selalu melekat dengan marak dalam cerita fiktif seakan memenuhi bayang bayang pengukiran pribadi diatas selaput mega tanpa bentuk.

 Kepedulian sosial adalah suatu nilai luhur yang tidak boleh mengalah pada kepentingan sesaat yang sangat sarat dengan nafsu menguasai dan memiliki secara gegabah tanpa rasa iba dan belas kasihan, baik dalam sikap, pengetahuan maupun langkah-langkah tingkah laku berbagi yang mendorong pelampiasan nafsu yang tidak punya batas sama sekali. Nafsu itu dikerubuti dengan batasan-batasan semu yang dikekang oleh kecerobohan nilai murka yang ingin menjadi nomor satu sebagai wajah superman, padahal bangsanya menghendaki adanya super team yang menenggang rasa karena solidaritas antar sesama.

 Selama empat hari bertemu di Surabaya sekarang ini nampak sekali sangat menonjol adanya kekecewaan atas rusaknya nilai-nilai kegotong royongan yang menjadi landasan kokoh dibentuknya bangsa ini dari kumpulan yang saling menghargai karena sifat toleransi yang ingin dijadikan suri tauladan oleh para sesepuh bangsa. Sifat yang digali dari khasanah kekayaan leluhur itu, karena berbenturan dengan sistem nilai lain, dan karena kalah rekayasa, seakan tidak dianggap cocok dengan kepribadian bangsa dan secara sistematis diganti dengan pendekatan prakmatis yang konon dikabarkan berlaku universal kalau kita mau hidup berdampingan, mampu bersaing secara terhormat dengan bangsa lain yang dianggap beradab, modern dan maju.

 Pertemuan yang akan berlangsung hangat selama empat hari ini akan menyaksikan dengan jelas bahwa di Indonesia masih ada tenaga muda maupun tua yang sanggup berpikir jernih karena peduli menyegarkan dan mengembalikan jati diri bangsa sebagai bangsa yang peduli terhadap sesamanya dan tidak terkena keracunan kekinian yang melihat kepuasan pribadi dan materi sebagai akhir segalanya. Bangsa ini masih memiliki militansi yang indah dan dinamis yang kalau diberikan dukungan politik yang memadai bisa jadi pendorong nilai hakiki bangsa yang luhur yang diperlukan untuk membangkitkan kekuatan dahsyat guna membangun kembali kekuatan spiritual dan budaya bangsa yang adiluhung dan berdemensi luas.

 Para pemikir dan andalan sosial kemayarakatan masih sangat peduli terhadap nilai-nilai luhur yang nampaknya absrak dan tidak banyak padanannya di alam sekitar, tetapi sesungguhnya mempunyai relevansi yang tinggi dan hanya terpaksa bersembunyi terkalahkan oleh hiruk pikuknya persaingan komunikasi modern yang mendapat dukungan luas karena tidak lagi menyembunyikan diri dari rasa malu dan serakah. Banyak kalangan mengira dunia sudah akan kiamat dan kalau tidak segera memperoleh kekuasaan fisik dan asset yang melimpah, tidak akan mampu bertahan serta bergerak secara nyata dan berhasil. Banyak yang buru-buru takut tidak lagi kebagian sehingga menjauhkan rasa malu dan tidak segan memakan teman sendiri untuk sampai pada tujuan tanpa memikirkan apakah etika masih jadi pertimbangannya atau sama sekali tidak ada lagi dalam kamus atau perbendaharaan sikap, tingkah laku dan budaya bangsanya

 Arus inilah yang bergerak dengan gencar dan seakan tidak ada batasnya. Arus ini menjadi kekuatan legitimate yang seakan harus dianut oleh mereka yang ingin berhasil dan selamat diantara gelombang dahsyat yang melanda ibu pertiwi dan "pantas" disejajarkan dalam kancah dunia yang bengis. Arus inilah yang menguasai sebagian besar para pemimpin kita yang malas untuk berandai andai dan secara telaten mau bersabar dalam proses panjang pemberdayaan sumber daya yang berkarakter tetapi langka dan mungkin saja sumber asalnya sudah terkena cacat kontaminasi yang sukar ditelusur satu demi satu di dunia nyata.

 Pertemuan Munas DNIKS yang didirikan oleh para tokoh yang peduli serta masih yakin akan kekuatan bangsa berada pada kebersamaan, persatuan dan kesatuan yang kokoh, tidak mau bergeming untuk tetap ingin bersatu, kalau perlu melawan arus, berada mantab pada kepercayaan untuk memelihara persatuan, kesatuan dan kesiapsiagaan untuk mempertahankan jati diri bangsa yang secara tegas menolak pengembangan super man dan tetap lebih menghendaki adanya upaya pengembangan super team yang mampu mengartikulasikan kebersamaan sebagai kekuatan solidaritas persatuan dan kesatuan bangsa yang kuat, utuh dan percaya pada maraknya kemampuan dan kearifan lokal yang maha dahsyat. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Umum DNIKS).