MEMBANGUN KELUARGA UNTUK MASA DEPAN BANGSA

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Akhir minggu ini Hari Keluarga Nasional ke 21 resmi akan diperingati oleh seluruh keluarga Indonesia. Secara historis Hari Keluarga Nasinal itu merupakan kelanjutan dari momentum gerakan KB Nasional yang dimulai secara resmi pada tahun 1970. Pada tahun 1989 program KB diakui oleh PBB sebagai gerakan yang sangat berhasil. Gerakan KB menjadi contoh dunia sebagai awal upaya pemberdayaan keluarga secara paripurna. Sebagai upaya untuk memantabkan program pembangunan keluarga itu, segera setelah pengakuan PBB tersebut, pada tahun 1990, pemerintah dan DPR RI mulai merumuskan UU yang mengatur pembangunan keluarga dan kependudukan secara paripurna. Perumusan UU itu melibatkan ahli dari berbagai perguruan tinggi dan praktisi nasional serta konsultan ahli dari PBB. Melalui diskusi yang sungguh-sungguh, akhirnya UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, atau UU no 10 tahun 1992, diundangkan pada tahun 1992. Berdasarkan UU itu, pada tahun 1993 Hari Keluarga Nasional, tanggal 29 Juni disyahkan sebagai momentum pembangunan keluarga secara paripurna.

 UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera sebagai UU nomor 10 tahun 1992 dijabarkan dalam beberapa Peraturan Pemerintah (PP), antara lain PP nomor 21 tahun 1994 yang mengatur secara rinci pemberdayaan keluarga. Dalam PP tersebut, yang disusun oleh para ahli sosiologi dan ahli ilmu sosial lainnya, dijabarkan perlunya upaya yang sungguh-sungguh dalam pemberdayaaan keluarga untuk memperkuat delapan fungsi keluarga. Delapan fungsi keluarga yang dimaksud meliputi perkuatan fungsi Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebudayaan, cinta kasih, perlindungan, kesehatan dan KB, pendidikan, kewirausahaan, dan lingkungan yang kondusif bagi keluarga dan masyarakatnya.

 Oleh para ahli yang menyusun ke delapan fungsi utama keluarga itu, yang kemudian ditetapkan sebagai rumusan dalam PP tersebut, diyakini bahwa apabila delapan fungsi keluarga tersebut diperkuat, niscaya keluarga Indonesia menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera. Oleh karena itu Gerakan KB Nasional, dengan jaringannya yang kuat di seluruh Indonesia mulai menempatkan keluarga yang sudah ber-KB, dan telah diperkuat dengan fungsi kesehatan dan KB-nya, sebagai sasaran utama awal pembangunan keluarga di Indonesia.

 Untuk itu, sejak tahun 1994, BKKBN di seluruh Indonesia ditugaskan memetakan seluruh keluarga Indonesia untuk menentukan sasaran pemberdayaan secara sistematis. Dalam pemetaan itu dipergunakan indikator untuk memilah keluarga Indonesia dalam beberapa kelompok pemberdayaan guna menentukan arah pemberdayaan secara rinci. Pengelompokan keluarga itu dipergunakan untuk mengetahui jenis intervensi yang diperlukan guna meningkatkan posisi setiap keluarga dalam proses pemberdayaan secara berkelanjutan sampai akhirnya menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera.

 Pembagian keluarga dalam pemetaan itu meliputi keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III Plus. Keluarga sejahtera I dan II bukan selalu keluarga miskin, tetapi dengan mudah menjadi miskin kalau salah satu indikatornya memburuk. Keluarga sejahtera II biasanya tidak miskin tetapi dengan mudah kalau tidak mendapat pembinaan dan penanganan berkesinambungan bisa jatuh miskin. Keluarga sejahtera III dianggap sudah mencukupi tetapi belum banyak berbagi dengan keluarga lain yang memerlukan bantuan. Sedangkan keluarga sejahtera III Plus adalah keluarga yang dianggap sudah mapan hidupnya dan sekaligus berbagi dengan tetangganya yang belum beruntung.

 Dalam pendataan keluarga yang dimulai tahun 1994 tersebut, setiap keluarga dituangkan dalam peta dengan tanda tanda khusus dan peta itu dijadikan dasar atau acuan musyawarah dalam kelompok-kelompok keluarga di desa guna merundingkan cara terbaik untuk saling berbagi guna bersama sama secara gotong royong menolong keluarga yang tertinggal sesuai kebutuhan untuk memperbaiki indikator keluarga yang dianggap lemah. Peta yang dibuat bersama di setiap desa menjadi pedoman untuk pemberdayaan keluarga secara sistematis.

 Sifat proses pemberdayaan keluarga itu diusahakan secara gotong royong dan mandiri dengan pancingan secara parsial dari pemerintah. Sebagai contoh suatu komunitas yang dianggap berhasil dalam gerakan KB diberikan insentif komunitas berupa dana atau kegiatan yang dananya berasal dari pemerintah untuk dikerjakan oleh masyarakat secara gotong royong. Dalam kegiatan itu ukuran keberhasilannya adalah partisipasi yang kuat dari keluarga di masyarakat sekitarnya. Masyarakat diberi kelapa hibrida dan harus ditanam di halaman rumahnya dengan tujuan agar pada waktunya kelapa itu menghasilkan, hasilnya bisa membantu sekolah anaknya.

 Kegiatan pancingan itu berlangsung lama dan pada tahun itu dimulai dengan program IDT untuk membantu keluarga di desa miskin. Bersamaan dengan itu diperkenalkan gerakan sadar menabung dengan mengeluarkan sistem tabungan Takesra melalui Bank BNI. Kepada setiap keluarga pra sejahtera diberikan buku tabungan yang sudah diisi dengan Rp. 2.000,- atau sekitar US$ 1.00 pada waktu itu. Setiap keluarga dianjurkan untuk menambah tabungannya. Kepada keluarga yang sudah menabung bisa meminjam uang sebesar sepuluh kali tabungannya, yaitu Rp. 20.000,- untuk modal usaha produktif. Setiap peminjam harus menyisihkan 10 persen untuk menambah tabungannya agar pada pinjaman berikutnya bisa mendapatkan pinjaman yang lebih besar lagi. Keluarga peminjam biasanya membuat usaha bersama keluarga lain sehingga modalnya bisa digabungkan dan usahanya bisa lebih besar dan menguntungkan. Kehidupan gotong royong menjadi acuan untuk pengentasan kemiskinan secara mandiri. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri).