Genius Lokal yang Menjanjikan

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Lebih sepuluh tahun terakhir ini seorang genius, entrepreneur, ahli ekonomi dan penulis kenamaan dari Belgia, Prof. Gunter Pauli, yang dilahirkan tahun 1956, menggagas dan mengembangkan Ekonomi Biru melalui pembangunan tanpa meninggalkan sisa. Tetapi sebenarnya, di Indonesia banyak sekali “Gunter Pauli” yang mendahului gagasan dan upaya seperti yang dilakukannya itu. Bedanya adalah bahwa “sosok” tersebut “tidak diorangkan”. Kearifan lokal tidak diangkat kepermukaan dan yang bersangkutan tidak memperoleh suasana yang kondusif dan modal untuk mengembangkan gagasan dan usahanya.

 Sosok seperti itu umumnya anggota keluarga pra sejahtera, keluarga yang sesungguhnya kalau ketahuan dan beruntung, bisa menjadi keluarga yang sangat terkenal, kaya dan namanya bisa menjadi idola dan idaman dunia. Ada sosok seperti itu yang hasil karyanya sangat diagungkan karena selalu menempati posisi yang terhormat, dan dibawa dalam peristiwa penting. Karya rekayasanya beraneka ragam, modis, dijaga dengan baik dan sangat diagungkan. Konon, menurut kisah yang dilaporkan oleh Dra. Rini Puji Astuti, mantan PLKB yang sekarang menjadi Pengurus Koperasi Windu Kencana, di Brebes, ada seorang bernama Wariti, usia 52 tahun. Sejak puluhan tahun lalu, karena tekanan ekonomi, maklum suaminya bekerja keras dan kasar sebagai Tukang Becak, Wariti muda terpaksa mengolah limbah. Seperti dijanjikan Gunter Pauli, akhirnya mampu merubah limbah itu menjadi produk indah yang membawa berkah.

 Wariti muda yang terpaksa bekerja keras tanpa modal itu, seperti dikatakan Gunter Pauli, “an industry without money”, mencari sisa-sisa rambut yang dibuang karena rontok atau mengumpulkan buangan dari salon yang memotong rambut gadis rambut panjang dan ingin berpenampilan “trendy” dengan rambut pendek. Wirati yang tinggal di RT 02, RW 04, Kelurahan Limbangan, Brebes, Jawa Tengah, karena tidak sempat mendengarkan dan tidak tersentuh program KB, memiliki 8 anak, sehingga terpaksa anak-anaknya dijadikan pasukan untuk mencari rambut dan mengolahnya dengan tekun menjadi sanggul.  Karena pengalaman yang panjang, menurut penuturan Rini, Wariti mampu mengolah limbah rambut menjadi aneka bentuk dan jenis sanggul yang cukup diminati pasar. Ada 9 produk olahan sanggul yang terkenal, yaitu sanggul Keong Racun, sanggul Kupu-kupu, sanggul Pulon Budur, sanggul Bali, sanggul Paes Ageng, sanggul Teluk, sanggul Jawa, sanggul Malang, dan sanggul Aceh, yang sekarang lagi diminati pasar adalah sanggul Keong Racun”.

 Proses membuat sanggul cukup rumit, kalau dikerjakan dengan tekun dan kasih sayang, hasil akhirnya adalah suatu produk yang terhormat dan tidak meninggalkan kesan bahan bakunya adalah limbah. Limbah rambut dikumpulkan dari pengepul dan dipilah dengan telaten. Rambut dipisahkan antara yang pendek dan panjang. Rambut pendek dijadikan satu lalu disasak dengan menggunakan alat sederhana, semacam kayu yang di atasnya dipasang jeruji sepeda motor yang ujungnya lancip mirip paku. Setelah penyasakan, rambut kemudian direbus dengan perwarna hitam. Rambut direbus selama kurang lebih 2 jam. Setelah itu, rambut dicuci dan dijemur. Pada tahap akhir, rambut disasak kembali untuk dibentuk sesuai keinginan. Semua proses itu dilakukan secara manual dengan penuh kasih sayang. Banyak sekali penduduk sekitar yang bekerja bersama dalam suatu kumpulan yang kemudian bergabung dalam Posdaya. Dimasa lalu Wariti tidak harus membeli limbah rambut. Tetapi karena sekarang setiap minggu, Wirati mampu memproduksi hingga 10 kodi sanggul, aneka jenis dan bentuk, dan salon mengetahui bahwa limbah itu berharga, dewasa ini limbah rambut perlu dibelinya dengan harga Rp. 8.000,- setiap kilogram. Karena kebutuhan yang banyak itu, Wariti terpaksa mencari dan membeli dari sekitar wilayah Brebes dan juga ke luar kota seperti Purbalingga. 

 Sanggul-sanggul buatan Wariti dipasarkan di butik-butik di kota besar seperti Jakarta, di Pasar Baru, Mangga Dua  dan juga di Medan. Harga yang dipatok bervariasi, antara Rp 10.000,- hingga Rp 15.000,- per buah, tergantung pada bentuk dan modelnya. Di kota metropolitan Jakarta, harga tersebut bisa lima kali lipat, bahkan sampai 10 kali lipat. Semakin rumit bentuk dan model sanggul, semakin mahal harganya.

 Kegeniusan Wariti itu menurun kepada Yusana (23 th),  anak nomor 8 yang mampu mengembangkan olahan ibunya. Yusana mengolah limbah rambut menjadi rambut sambung dari bahan baku rambut yang masih natural dan panjang, yaitu panjang 60 cm, 50 cm dan 30 cm, yang harga bahan bakunya setiap 1 kg Rp. 3.000.000,- tetapi setelah di proses bisa menghasilkan produksi yang siap dipasarkan dengan senilai Rp. 4.250.000,- atau lebih. 

 Ibu Rohayati selaku Ketua Posdaya Limbangan Wetan menuturkan kepada Ibu Rini selaku Pengurus Koperasi Windhu Kencana, yang dipimpin Pak Komar, bahwa “Tabungan dan Kredit Tabur Puja” yang dikembangkan oleh Yayasan Damandiri  telah mendorong, memotivasi dan memfasilitasi keluarga-keluarga pra sejahtera yang tergabung dalam Posdaya bekerja keras memaksimalkan usahanya. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri, www.haryono.com).