Mengalirkan Upaya Pengentasan Kemiskinan

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Gerakan dunia dewasa ini sangat menaruh perhatian terhadap hak-hak azasi manusia, memelihara lingkungan, pengembangan ketrampilan dan pembukaan kesempatan kerja yang luas serta anjuran untuk menghargai, meningkatan dan memanfaatkan kemampuan lokal untuk sebesar-besar kesejahteraan keluarga dan masyarakat luas. Ekonomi hijau yang di sebagian besar Negara berkembang menjadi batasan untuk bersaing dengan Negara maju telah “dirapikan” oleh Gunter Pauli menjadi gerakan ekonomi biru yang sesungguhnya tidak banyak beda dengan ekonomi kerakyatan atau Ekonomi Pancasila yang merupakan ajakan memanfaatkan melimpahnya kekayaan sumber daya alam dan lingkungan di setiap daerah untuk membangun tanpa meninggalkan sisa-sisa sampah yang merusak lingkungan.

 Duapuluh tahun lalu, di Desa Janti di Klaten, hal serupa telah dicoba oleh para peserta KB yang berhasil memanfaatkan air yang mengalir deras melewati kampungnya menjadi kolam-kolam ikan hampir di setiap rumah penduduk. Dalam pikiran sederhana, keluarga yang menganut ajaran KB untuk mempunyai anak tidak lebih dari dua orang itu, mempunyai rumah yang makin sepi karena anaknya sekolah atau sudah bekerja di luar rumah. Melalui pendampingan Petugas Lapangan KB (PLKB) dan motivasi untuk maju, keluarga desa yang sederhna itu berfikir kreatif. Timbul akal merubah rumahnya menjadi “restoran tradisional”, tanpa modal, seperti dianjurkan oleh Gunter Pauli, menyisihkan satu atau dua kursi miliknya, membeli tikar dan menggelar tikar itu di rumahnya. Maka rumahnya menjadi “restoran tradisional lesehan” yang menarik. 

 Bupati, SKPD dan punggawa desa memberi dukungan yang membesarkan hati dengan menganjurkan pegawainya untuk turun ke desa. Sejalan dengan itu, Pak Harto almarhum, atas permintaan para akseptor KB pedesaan yang desanya ingin maju, “meliburkan” setiap hari Sabtu, agar orang kota dengan keluarganya beramai ramai berkunjung ke desa membantu keluarga desa mengentaskan kemiskinan dengan menikmati makanan pedesaan dan belanja hasil desa yang harganya murah. Bupati Klaten mengerahkan pegawai Pemda dan keluarga kabupaten tetangga turun ke desa dan makan lesehan dengan sajian ikan goreng atau bakar dan lalap segar serta sambal cowek yang sangat lezat. Desa Janti berubah menjadi desa wisata kuliner yang dikelola oleh keluarga desa yang setia ber-KB. 

 Karena kebutuhan supply ikan harus baru setiap minggu, maka timbul spesifikasi diantara para peternak ikan. Ada yang spesialisasi menghasilkan benih, tokolan dan ahli penggemukan atau pembesaran untuk siap di goreng atau dimasak dengan sajian sayuran dan sambal lalap yang nikmat. Begitu juga makin banyak anak muda berjaga mobil atau sepeda motor yang banyak berdatangan setiap Sabtu atau Minggu. Kemakmuran merambah keluarga desa di Janti.

 Peristiwa serupa terjadi di Kampung Nila, Desa Nganjat, Kecamatan Polanharjo, juga di Klaten. Upaya ini makin marak dibawah bimbingan Bupati Klaten, H. Sunarno, yang memberi perhatian terhadap masalah pertanian dan perikananyang tinggi. Lebih-lebih lagi dengan perhatian Kepala Badan SDM Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dr. Suseno, serta Kepala Pusat Penyuluhan Perikanan, Dr. Ir. Rina, dengan ribuan “pasukannya” yang tersebar di seluruh Indonesia, impinan masyarakat Desa itu mendapat perhatian. Seperti halnya di Desa Janti, di Desa Nganjat juga terdapat air mengalir yang mengandung oksigen yang melimpah, tidak banyak tercermar dan dipelihara oleh penduduk dengan penuh kasih sayang. Oleh jajaran Kementerian Kelautan dan Perikanan, keinginan rakyat itu diberikan penyaluran dan penyuluhan yang menarik, sehingga tidak kurang dari 30 kelompok dibentuk dan diberi pembekalan untuk memelihara ikan Nila dengan skala industri. Kampung itu tidak asing dengan ikan Nila karena itu namanyapun disebut Kampung Nila.

 Dengan tekun dan fasilitasi pemerintah, dibangunlah suatu komplek sekitar 2,4 – 2,5 ha empang-empang modern dialiri air deras yang terpelihara dengan baik dan kaya oksigen. Pada hamparan itu ditebar dan dipelihara dengan cara gotong royong bibit Tokolan Nila dimana setiap ton dalam 3,5 bulan akan menjadi ikan Nila siap jual. Kolam-kolam itu setiap hari, menurut laporan Ibu Dr. Rina dalam pertemuan Gempita minggu lalu, menghasilkan sekitar 1 ton ikan Nila yang pada Hari Raya yang lalu laku jual sekitar Rp. 22.000,- setiap kg. Pada hari biasa laku sekitar Rp. 18.000,- sampai Rp. 20.000,- tiap kg, sehingga diambil kasar saja, setiap bulan kelompok itu bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp. 60 juta atau setiap tahun memperoleh penghasilan tidak kurang dari Rp. 7,2 milyar. Keluarga di Kampung sederhana itu, yang bekerja gotong royong, cerdas, keras dan menghargai petunjuk penyuluh yang bekerja secara ikhlas, berubah dari keluarga sederhana menjadi keluarga sejahtera yang milyuner.

 Kepala desa itu, Pak Pandu, yang melihat kemungkinan menyebar luaskan gagasan ini kepada kelompok keluarga miskin yang jumlah anggotanya lebih kecil, mencoba sistem baru dengan lahan yang lebih sempit. Halaman belakang rumahnya, yang tidak lebih dari 3x8 m, dirubahnya menjadi kolam dengan air alam yang mengalir lancar tanpa mengganggu lingkungan. Pada kolam yang sempit itu ditebarnya Tokolan dalam jumlah besar sebagai uji coba cara tebaran padat dengan pakan yang teratur. Kolam sempit itu menghasilkan Nila tidak kurang dari 2 ton setiap tiga setengah bulan. Bisa dibayangkan apabila berharga Rp. 20.000,- sampai Rp. 22.000,-  setiap kg, “penghasilan” tambahan dari halaman belakang rumahnya, setelah dikurangi sekitar 60 persen biaya makanan ikan, Pak Pandu dan keluarga akan diantar oleh ikan Nila yang dipeliharanya dengan penuh kasih sayang menjadi jutawan pedesaan yang membesarkan hati.

 Pelajaran berharga bagi pemerintah baru nanti, bahwa apabila ada niat dan komitmen dukungan pemberdayaan, pendampingan yang akrab dan profesional, keluarga pedesaan bisa mempraktekkan gagasan Ekonomi Biru Gunter Pauli dengan sangat baik dan mengantar keluarga desa yang miskin menjadi sejahtera dengan penuh kebanggaan dan harga diri yang tinggi.  (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri,www.haryono.com).