TABAH MENAPAK HIDUP TERHORMAT
Tanggal: 26 Januari 2010, Laporan: Prof Dr Haryono Suyono

Minggu lalu, dalam rangka mengenang dua tahun wafatnya pak Harto, keluarga besar Yayasan Damandiri dan kawan-kawan seperjuangan, berkunjung ke Makam Mangadeg, Giribangun di Karanganyar, Jawa Tengah, untuk berdoa dan mohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar segala kesalahan beliau dan Ibu Tien Soeharto dimaafkan. Dan kepada kita, yang masih hidup, diberikan kemampuan, kekuatan, dan kemudahan melanjutkan perjuangan membangun keluarga yang sejahtera dan bangsa yang adil dan makmur.
Kunjungan ziarah itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, dibarengi ribuan penduduk lain, yang datang dari segala penjuru tanah air, dari yang kaya dan miskin, pejabat, mantan pejabat dan rakyat biasa, yang dengan khusuk memanjatkan doa agar arwah beliau dimaafkan dan ditempatkan di sisiNya sesuai amal ibadahnya. Mereka ternyata tidak saja berdoa untuk almarhum dan almarhumah, tetapi merindukan beliau sebagai pemimpin yang dekat dan sangat memperhatikan jeritan rakyatnya. Dalam pembicaraan santai dan penuh keakraban mereka menyebutkan bahwa pak Harto selalu menanyakan dan sangat peduli terhadap harga beras, minyak tanah, minyak goreng, bahkan hampir setiap sidang kabinet kebutuhan rakyat banyak itu selalu dibahas. Pak Harto peduli terhadap kesulitan anak-anak sekolah, rakyat masih ingat beliau membuat Yayasan Supersemar dengan beasiswanya, biarpun sedikit uangnya, telah menelorkan pemimpin bangsa sampai dewasa ini.
Mereka masih ingat dimana-mana dibuat koperasi agar rakyat yang tidak mampu bekerja sendiri karena pasti kalah bersaing, bisa bergabung mengadakan usaha bersama. Membeli bibit dan pupuk bersama. Rakyat yang tidak mampu membayar karena gagal diberikan pengampunan dan dibebaskan dari hutangnya. Mereka lebih suka bekerja keras dibandingkan menerima uang sebesar Rp. 300.000,- tanpa harus bekerja keras.
Sambil ziarah ke Giribangun itu rombongan berkeliling di Solo dan sekitarnya. Di kota ini, karena musim durian, disempatkan mampir di pinggir jalan mencoba bertanya tentang durian yang dijajakan. Melihat harga dan bau yang menyengat, rombongan tidak tahan hanya bertanya. Bapak Subiakto, mantan Menteri Koperasi, seperti rombongan lain, yang sangat peduli terhadap nasib pedagang kecil, membisikkan kepada anggota lainnya agar tidak menawar. Dagangan yang hanya sedikit boleh ditanya harga dan kualitasnya, tetapi kalau beminat tidak boleh menawar terlalu rendah. Keuntungan mereka pasti terbatas, apalagi durian bersifat musiman.
Melihat potongan tubuh pedagang durian yang kekar, tangan bertato dan bertindik dengan anting, dengan sopan kita tanya apakah dulu seorang seniman? Dengan jujur pedagang mengaku bahwa semasa muda adalah anak seniman, suka main musik dan kegiatan seni lainnya. Setelah dewasa dan bertanggung jawab untuk isteri dan anaknya, dia harus berusaha dan bekerja. Pemuda yang tidak kenal menyerah itu mengaku bahwa durian yang dijualnya adalah milik juragan yang harus dijual kalau ingin untung dan bisa bawa uang sisa. Tanpa kemampuan memilih dan menjual dengan baik pasti tidak akan bisa untung. Tanggung jawab membuat anak muda itu menjadi ahli durian, bisa memilih durian yang akan dijualnya dan dengan penuh keyakinan menjualnya kepada setiap konsumen yang berhenti di tempatnya.
Di tempat lain di Kartosuro kita berjumpa dengan seorang ibu lansia berjualan tempe goreng. Tempe digoreng di tempat dan disajikan langsung kepada siapa saja yang lewat dipinggir toko Cina tempat berjualannya untuk beberapa bulan terakhir. Pemilik toko yang juga pembeli sawahnya memberi ijin asal bersih dan tidak mengganggu langganannya. Suaminya petani yang terpaksa menjual sawahnya karena anak sekolah dan perlu sepeda motor. Suami petani penggarap itu tetap rajin dan tekun karena sayang pada sawah dan anaknya yang sekolah. Kalau dia tidak rajin dan produktip, pemiliknya pasti menyerahkan sawah itu kepada penggarap lain. Biarpun kedua suami isteri itu semestinya sedih dan nelangsa, tetapi harapan kepada anaknya di masa depan menghapus kesedihan dan nestapa itu. Dengan tegar keduanya tetap bekerja keras, sabar dan tawakal.
Marilah kedua contoh diatas kita ambil hikmahnya dan tidak kita sia-siakan harapannya. Anak-anak masa depan harus lebih baik dan tidak perlu menjual sawah untuk menyekolahkan anak-anaknya, tidak perlu menjadi pedagang musiman kalau ingin menjadi seniman. Bangsa ini adalah bangsa besar yang harus mampu menjamin anak bangsanya menempuh hidup sesuai pilihannya yang demokratis. Insya Allah. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri).

Tag: Pemilu, Demokrasi