KELUARGA PRASEJAHTERA MEMBANGUN BISNIS

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Berkat berkah bulan suci Ramadhan, suatu pertemuan antara berbagai kalangan yang telah membantu keluarga prasejahtera melalui berbagai upaya mengantar mereka menjadi keluarga tidak miskin dan mandiri, mulai menemukan model jaringan bisnis yang akan segera dipraktekan sebagai upaya ekonomi kerakyatan di lapangan. Gagasan itu dimulai dengan membaca keberhasilan pengalaman pengetrapan sistem tabungan dan kredit Tabur Puja yang dipraktekan selama tiga tahun ini. Sistem itu mewajibkan keluarga peserta bersedia menabung dan mengambil kredit maksimum Rp. 2 juta dengan dukungan tanggung renteng tanpa agunan. Peserta yang berhak adalah keluarga prasejahtera yang bermitra keluarga yang lebih sejahtera dalam suatu Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya). Anggota Posdaya tidak saja diberi kesempatan kredit tetapi wajib membangun kebersamaan gotong royong, mengembangkan pola hidup bersih dan sehat, menyekolahkan anaknya dan membangun Kebun Bergizi di halaman rumahnya serta siap mengikuti berbagai pelatihan ketrampilan. Dari keluarga yang mengambil kredit, banyak nasabah, sendiri atau bersama rekan keluarga di desanya, berubah menjadi pengusaha mikro, membuka warung atau menjadi pedagang kecil di pasar lokal.

Sebagai “pengusaha mikro”, awalnya produk mereka sangat sederhana, tetapi lama kelamaan, sebagian karena pelatihan dari mahasiswa KKN tematik Posdaya, atau saling belajar dari tetangganya, produk yang dihasilkan makin bermutu dan muncul dengan wajah penampilan yang menarik pembeli yang makin banyak. Di beberapa kabupaten mulai dipasarkan dengan menciptakan kegiatan Posdaya yang menarik. Para anggota yang memiliki usaha boleh datang ke tempat pertemuan bersama sambil membawa dan menjajakan dagangannya. Anggota lain membeli dengan harga yang dinilainya murah karena sesuai ongkos produksi dan untung yang sangat kecil. Dengan cara itu, sambil menikmati hasil produk, anggota Posdaya mengenal produk yang dihasilkan tetangganya. Forum pertemuan rutin seakan berubah menjadi ajang “pasar keluarga” dimana terjadi saling tukar beli produk dari tetangganya. “Peduli sesama tetangga” berkembang menjadi “beli produk tetangga prasejahtera”. Dari slogan berubah menjadi praktek sosial yang konkrit dan saling menguntungkan.

Kegiatan Senam Keluarga Indonesia yang digelar di beberapa daerah menarik banyak peminat dan menjadi ajang yang sangat baik untuk menjual atau memperkenalkan “produsen” dan “pedagang baru” yang muncul dan bisa menawarkan produknya di desa atau ditingkat yang lebih tinggi. Ada pula yang kemudian membuat warung dengan merubah bagian depan rumahya menjadi “ruang publik” untuk berjualan. Penduduk desa, seperti juga dokter baru, belajar sabar menggelar dagangannya dan menunggu pembeli. Ada juga yang lebih cerdik, sebagian produsen makanan, disamping menggelar dagangannya, diundangnya kerabat dan saudaranya untuk mencicipi produknya. Sebagian ikut membayar apa yang dimakan, tetapi yang penting adalah memberi komentar dan mengumumkan kepada keluarga lain betapa enaknya masakan keluarga pengundang yang membuka warung itu. Promosi dari mulut ke mulut.

Pada beberapa Kabupaten/Kota, seperti Bantul, Kulon Progo, Pacitan, Cilacap, Purbalingga, Brebes, Indramayu, Padang, Solok dan Gorontalo Utara, seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Timur dan beberapa kabupaten di Sumatera Selatan, puluhan ribu keluarga prasejahtera mendapat dukungan dana Tabur Puja melalui koperasi, Bank UMKM dan BPR setempat. Sebagian warung di desa-desa memperoleh supply kebutuhannya dari Sentral Kulakan Posdaya (Senkudaya) yang didirikan oleh koperasi atau lembaga lain di tingkat kabupaten. Supply itu sangat menolong karena diserahkan melalui sistem konsinyasi atau harga yang relatif lebih murah dibandingkan kalau belanja langsung di toko atau pedagang besar.

Kegiatan sistem bisnis dengan dukungan supplier itulah yang segera diterapkan di seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur. Bank BPD Jatim akan memberi dukungan finansial terbentuknya pusat-pusat supplier “Sentral Kulakan Posdaya” (Senkudaya) di kabupaten yang berminat. Sebaliknya, seperti berjalan selama ini, Bank UMKM Jatim bersedia memberi dukungan dana terhadap anggota Posdaya, utamanya keluarga prasejahtera, yang membuka warung di rumahnya, atau yang ingin berusaha menjadi produsen berbagai jenis komoditas di kampungnya. Warung di kampungnya itu bisa mengambil barang di Senkudaya dengan sistem kredit yang dijamin oleh Bank UMKM Jatim atau Bank BPD Jatim. Dengan demikian akan terjadi usaha bisnis yang makin lama makin membesar.

Dalam kegiatan ini, Bank BPD Jatim yang kemampuan pendanaannya lebih besar, bersedia memberikan kucuran dana kepada Bank UMKM Jatim untuk melayani kegiatan keluarga di pedesaan. Para dosen dan mahasiswa yang tergabung dalam kegiatan KKN tematik Posdaya dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Timur dan Yayasan Damandiri siap bekerjasama memberikan pendampingan pelatihan dan pembinaan di lapangan, utamanya dengan mempergunakan hasil pemetaan keluarga agar upaya ini sekaligus merupakan pemberdayaan keluarga prasejahtera dan mengantar keluarga miskin berubah menjadi makin sejahtera dan mandiri. Jajaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diharapkan akan memfalitasi kemudahan pengurusan ijin usaha dan tata administrasi lainnya. Para pengusaha lokal yang lebih maju akan dihimbau untuk tidak menekan pertumbuhan ekonomi mikro tersebut melalui perang harga atau usaha lainnya. Akan didukung dengan seruan “masyarakat yang cinta bangsanya akan membeli produk lokal” yang dihasilkan oleh rakyat di pedesaan.

Di kemudian hari, pada saat makanan atau produksi lokal itu makin menarik, pasarnya harus makin luas. Senkudaya yang semula hanya melayani warung keluarga sederhana di satu kabupaten harus siap melayani warung atau pedagang lain yang lebih maju. Bisa jadi harus melayani pembeli atau warung di luar kabupaten. Untuk itu, penampilan dan rasa produksinya harus makin standar dan menarik, dibalut kemasan yang mengundang selera pembeli. Digagas bahwa Senkudaya yang dewasa ini hanya memiliki divisi pembelian barang yang murah dan dibutuhkan warung di desa, serta divisi untuk mengirim barang dagangan ke warung-warung Posdaya di desa, perlu ditambah satu divisi lagi untuk pengolahan dan pengemasan produk agar lebih laku dijual ke pihak lain atau melalui jaringan yang jauh lebih luas antar kabupaten atau antar daerah lainnya.

Pengalaman di atas akan menjadi contoh nyata bahwa pembangunan ekonomi kerakyatan, atau ekonomi biru menurut Prof. Gunter Pauli, bersama cita-cita financial inclusion sebagai upaya mengajak kalangan perbankan lebih berjiwa sosial, dapat dilaksanakan dengan partisipasi keluarga prasejahtera, tanpa membawa kerugian karena adanya sinergi antara bank menyandang dana, bank mikro, Yayasan dan perguruan tinggi serta mahasiswa yang berjuang di garis depan di pedesaan. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri, www.haryono.com).