MENCARI PAHLAWAN PEMBANGUNAN

Oleh:

Prof Haryono Suyono


Menjelang Hari Pahlawan 10 Nopember 2011, banyak kalangan memastikan bahwa pemerintah akan mengukuhkan anugerah pahlawan kepada anak bangsa atau warga negara asing yang dinilai mempunyai jasa yang luar biasa kepada nusa dan bangsa di masa lalu. Umumnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, pahlawan yang dikukuhkan itu sudah almarhum puluhan tahun, bahkan ratusan tahun yang lalu. Anak bangsa atau warga negara asing tersebut dinilai telah melakukan kegiatan yang heroik secara konsisten tanpa kenal menyerah dan dengan semangat kebangsaan yang tinggi meletakkan landasan bagi kemerdekaan, atau berjuang melawan penjajah, atau dinilai mempunyai jasa yang luar biasa dalam bidangnya dan pantas diteladani.

Sungguh mulia bahwa bangsa kita selalu mengingat jasa para pendahulunya, baik yang berasal dari bangsa sendiri maupun warga negara asing yang memberikan dukungan terhadap semangat kebangsaan dan mengantar kita mencapai kemerdekaan serta mengisinya. Namun, karena masih tersisa anak bangsa yang pra sejahtera, yang miskin, secara struktural maupun terperosok karena korban pembangunan atau terkena musibah alam, yang tiba-tiba merubah hidupnya yang mapan menjadi berantakan. Jumlah mereka tidak terlalu banyak, ada yang percaya jumlahnya sudah mendekati angka 13 persen atau kurang, ada pula yang masih ngotot jumlahnya masih sekitar separo dari jumlah penduduk yang sudah melebihi 240 juta jiwa.

Kalau kita andaikan jumlah keluarga yang sangat miskin sekitar 15 persen dari jumlah penduduk, maka di Indonesia masih ada lebih dari 35 juta penduduk miskin tersebar di seluruh pelosok tanah air dan perlu mendapat bantuan pemberdayaan. Sebagian tinggal di tengah-tengah saudara kita yang mampu dan sangat maju, sebagian lagi tinggal diantara saudara kita yang tidak terlalu mampu tetapi mempunyai usaha yang dinamis dan sebagian lagi tinggal di tempat-tempat yang terpuruk dan tidak banyak memberi harapan. Kalau setiap keluarga terdiri dari tiga, empat atau lima anggota, maka seluruhnya ada sekitar 10 juta keluarga miskin di Indonesia. Andaikan ditargetkan setiap tahun bisa didampingi dalam upaya pengentasan kemiskinan sebanyak 2 juta keluarga, seluruh keluarga miskin dapat didampingi dalam waktu lima tahun.

Untuk itu, setiap tahun dibutuhkan sekitar lima ratus ribu sampai satu juta keluarga saja untuk menjadi pendamping berbagi kasih, kepedulian dan kegiatan sebagai pendamping keluarga miskin. Setiap keluarga bisa menjadi pendamping dua sampai empat keluarga miskin untuk membangkitkan semangat maju, belajar cerdas dan terampil serta bekerja keras melepaskan diri dari kemiskinan. Keluarga pendamping membentuk kelompok yang terdiri dari lima keluarga, yaitu satu atau dua keluarga pendamping dan empat keluarga miskin. Karena kemiskinan tidak bisa diselesaikan dalam satu dua tahun saja, maka pendamping perlu memberikan komitmen untuk bekerja bersama keluarga yang didampinginya dalam jangka panjang, minimum lima tahun. Karena itu pada akhirnya diperlukan jumlah sukarelawan sekitar dua setengah sampai lima juta keluarga yang berhati mulia.

Keluarga pendamping yang sukarelawan berhati mulia perlu mendampingi keluarga miskin mengikuti berbagai pelatihan keterampilan, membantu mencari peluang kegiatan usaha, memberi semangat agar berani berusaha dan mencarikan pinjaman kredit untuk usaha serta membantu pemasaran produk usaha kelompoknya yang berusaha bekerja keras tersebut. Para pendamping perlu sabar memberikan bimbingan dengan penuh kasih sayang tetapi juga mengetrapkan disiplin tinggi agar upaya pengentasan kemiskinan menghasilkan keluarga baru yang cerdas, terampil, mandiri dan sejahtera.

Kelompok keluarga pejuang itu perlu bernaung dalam Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang didukung penuh dan terintegrasi oleh seluruh SKPD atau instansi pemerintah tanpa melihat, apakah kegiatan tersebut suatu proyek pemerintah atau prakarsa masyarakat. Pemerintah sebagai fasilitator tidak perlu mengkotak-kotakkan kegiatan yang ada dalam masyarakat sebagai “proyek”-nya atau bukan, tetapi memberikan dukungan positif atas prakarsa yang berkembang. Karena itu, pelayanan kredit untuk rakyat seperti KUR dan lain-lainya perlu disederhanakan agar kesempatan akses kredit terbuka untuk kelompok keluarga pejuang seperti ini. Kredit itu tidak harus bermilyar, tetapi cukup dengan kredit sekitar satu sampai dua juta rupiah sebagai awal tetapi berlanjut apabila kemampuan dan disiplin keluarga sasaran makin bertambah baik. Sistem kredit bebas dari agunan, tetapi dijamin bersama dalam sistem tanggung renteng antar keluarga dalam satu perjuangan bersama. Untuk itu setiap keluarga diharuskan mempunyai buku tabungan yang diisi dengan disiplin tinggi. Sebagian isi tabungan dicadangkan untuk jaminan kesehatan dan keperluan sosial lainnya seperti sekolah anak-anak. Untuk mengurangi beban yang berat, keluarga pejuang perlu mendapat jaminan sosial kesehatan dan pendidikan yang ditetapkan atas dasar kesediaan kerja keras. Artinya, apabila sebuah keluarga bekerja keras dalam kelompok maka kepadanya diberikan jaminan paripurna.

Menjelang Hari Pahlawan yang sakral tahun ini, kiranya perlu segera diupayakan untuk mencari satu sampai lima juta calon pahlawan pembangunan yang sanggup menjadi sukarelawan berhati mulia untuk mendampingi keluarga-keluarga miskin menyelesaikan dan mengangkat dirinya secara terhormat, belajar cerdas dan terampil, berani mengambil resiko, bekerja keras serta tidak pernah patah semangat untuk membangun keluarga sejahtera. Calon pahlawan pembangunan itupun perlu diberi semangat dan fasilitasi serta tidak dianggap saingan pemerintah dalam pembangunan bangsa. Para sukarelawan berhati mulia bukan pesaing, tetapi justru pendamping pemerintah dalam membangun dengan sasaran yang sangat besar dan memerlukan waktu panjang serta kerja keras yang bisa sangat rumit karena tantangan sosial budaya yang tidak bisa diselesaikan dalam sistem birokrasi yang kaku dan sering penuh ketidakpastian. Mari kita ciptakan pahlawan pembangunan bangsa yang heroik dan pantang mundur.  (Prof. Dr. Haryono Suyono, Mantan Menko Kesra dan Taskin).