PERANAN PERBANKAN DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono


Minggu lalu Bank Indonesia menyelenggarakan Seminar dengan tema “Peranan Perbankan Dalam Pengembangan Keuangan Inklusif”. Seminar ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan dengan lembaga keuangan dunia yang dilaksanakan pada akhir tahun 2010 di Bali yang membahas program Financial Inclusion. Pertemuan di Bali dibuka oleh Presiden SBY dalam usaha agar lembaga perbankan membantu upaya pembangunan yang lebih luas, khususnya upaya pengentasan kemiskinan. Intinya adalah agar program Financial Inclusion bukan hanya mengajak penduduk menabung dan mengambil kredit saja, tetapi kalangan perbankan ikut aktif mendidik rakyat untuk menabung, mengambil kredit, membayar cicilan dan bunga, serta dipersiapkan melalui pemberdayaan agar bisa bekerja keras dalam berbagai kegiatan ekonomi dan kegiatan lainnya untuk berkembang menjadi keluarga yang sejahtera. Untuk itu Bank-bank perlu mengembangkan jaringan keuangan mikro dan kecil, atau menjemput bola, sampai ke tingkat pedesaan dan pedukuhan, agar akses terhadap perbankan bertambah baik, mendidik dan mempermudah akses rakyat kecil, tanpa kecuali (inklusif), belajar menjadi pengusaha, peduli terhadap sesamanya dalam mendidik, meningkatkan derajat kesehatan, melestarikan lingkungannya serta menjadi pengusaha yang bonafit agar keluarga-keluarga yang semula miskin berkembang menjadi keluarga yang sejahtera.

 

Presiden SBY menyatakan bahwa dalam semangat financial inclusion Bank-bank tidak boleh bekerja seperti biasa. Bank tidak boleh sekedar menganjurkan penduduk menabung dengan menawarkan bunga ringan saja. Bank harus mengembangkan inovasi yang memberi kesempatan kepada setiap keluarga makin cerdas, bersedia bekerja keras dan jujur untuk mengambil kredit biarpun tidak memiliki agunan. Prinsip utamanya, keluarga yang baru memulai usaha, termasuk, dan utamanya, keluarga termarginal, perlu mendapat perhatian dan kesempatan, kalau perlu diajak, untuk belajar usaha dan memulai usaha produktif yang menguntungkan. Apabila keluarga miskin belum mampu memberikan agunan, atau istilahnya tidak feasible, apalagi bankable, kehidupan gotong royong perlu disegarkan, rakyat diberikan kepercayaan menjadi nasabah kredit dengan sistem tanggung renteng, kalau perlu diciptakan lembaga penjaminan menanggung agunan kredit secara nasional dan daerah. Pemerintah pusat dan daerah turun tangan membentuk lembaga tersebut. Nasabah keluarga miskin perlu disyaratkan bekerja keras, jujur dan secara serius membayar cicilan dan bunga secara teratur.

 

Dalam Seminar minggu lalu terungkap bahwa sejak itu, bahkan sejak sebelumnya, banyak lembaga perbankan telah berusaha “melonggarkan” dan menjangkau keluarga miskin ikut dalam arus pengembangan nasabah. Sayangnya, banyak lembaga keuangan bank masih berkutik pada usaha bagaimana mempermudah akses secara sepihak, pengertian inclusion belum banyak diarahkan untuk memberdayakan keluarga miskin dalam tatanan peningkatan Index Pembangunan Manusia (IPM) secara terfokus. Apabila dana CSR, dalam bentuk PKBL, program kemitraan dan pembinaan lingkungan, yang disediakan oleh berbagai Bank dapat dipadukan sebagai dana pengembangan financial inclusion dalam upaya yang dikaitkan dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), atau penyelesaian target Millennium Development Goals (MDGs) lebih terfokus, maka upaya pembangunan berkeadilan yang dicanangkan Pemerintah melalui Instruksi Presiden nomor 3 tahun 2010 bisa dipadukan dan berjalan lebih mulus.

 

Instruksi Presiden nomor 3 tahun 2010 itu menggariskan agar pembangunan bertumpu pada upaya pengentasan kemiskinan berbasis keluarga, pemberdayaan masyarakat dan ketenaga kerjaan. Ini artinya adalah bahwa keluarga miskin perlu diajak ikut dalam arus inclusion melalui pemberdayaan yang lebih lengkap. Keluarga miskin, sesuai instruksi tersebut, diutamakan anak dan kaum perempuan, diberikan dukungan pemberdayaan dalam bidang pendidikan, termasuk kursus-kursus ketrampilan agar bisa ikut secara inklusif dalam arus kerja keras mengentaskan kemiskinan keluarganya, kewirausahaan dan penataan lingkungan yang lestari dan memberikan dukungan terhadap kehidupan yang lebih harmonis. Anak-anak balita, yang biasanya menjadi alasan keluarga tidak bisa ikut aktif dalam kegiatan kerja bagi ibunya, diberikan pendidikan sejak usia dini dengan bantuan mendirikan dan memelihara sekolah atau fasilitas untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

 

Keluarga sebagai basis, utamanya keluarga muda dengan kaum perempuannya, bukan hanya diberikan akses kredit, tetapi diberikan pendampingan pemberdayaan, lebih baik dengan keluarga setempat yang mempunyai usaha ekonomi, agar berani dan bisa membuka usaha. Keluarga muda diajak menggarap lingkungannya, utamanya halaman rumahnya, menjadi Kebun Bergizi, agar masukan gizi untuk anak-anaknya bukan dilakukan sekali dalam sebulan, tetapi setiap hari dari hasil kebun sendiri. Pemberdayaan paripurna akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dalam tahun 2011 lalu kenaikannya tidak memadai sehingga merosot ke nomor 124 dalam urutan dunia.

 

Untuk memperluas akses bagi seluruh keluarga, termasuk keluarga miskin yang belum mulai dengan usaha yang feasible, mulai tahun 2011 Bank-bank mitra Yayasan Damandiri, yang selama ini menyalurkan kredit Pundi, diharuskan menghidupkan kembali Kredit Untuk Keluarga Sejahtera (Kukesra) dan Tabungan Keluarga Sejahtera (Takesra) serta kredit “Pundi Rakyat” disertai upaya pemberdayaan dan pendampingan paripurna. Keberhasilan penyaluran kredit-kredit tersebut tidak hanya diukur dari nilai non performing loan (NPL) saja, tetapi apakah di setiap desa dan pedukuhan telah terbentuk Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) agar setiap keluarga atau nasabah bisa bergabung di dalamnya untuk mengikuti proses pemberdayaan yang paripurna. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri).