PERGURUAN TAMANSISWA MENDIDIK ANAK DESA

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Minggu lalu di Yogyakarta dilangsungkan Kongres Persatuan Tamansiswa ke XX yang dihadiri oleh utusan cabang-cabangnya dari seluruh Indonesia. Persatuan Tamansiswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara puluhan tahun lalu, terkenal karena mengelola pendidikan mulai dari anak usia dini sampai ke tingkat sekolah tinggi/universitas. Dengan berpegangan secara kukuh pada pesan almarhum Ki Hajar Dewantara, pahlawan pendidikan, Perguruan Tamansiswa selalu berusaha mendidik anak desa, anak keluarga miskin dan termarginal dan berusaha memberi manfaat kepada rakyat banyak di desa.

             Kongres Tamansiswa kali ini dipimpin oleh Ketua Majelis Luhur Tamansiswa, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto, serta dihadiri oleh para sesepuh Tamansiswa seperti Ibu Sulasikin Murpratomo, mantan Wakil Ketua DPA, Probo Sutejo, pengusaha terkenal dan Sugiarto, Komisaris Utama Pertamina dan Bumi Putera dan tokoh-tokoh lainnya. Dalam Kongres yang berlangsung penuh kekeluargaan tersebut, semua tokoh-tokoh senior tersebut tetap memberikan dukungan agar Perguruan Tamansiswa tetap konsisten memberikan pencerahan dan pengembangan karakter anak bangsa dengan sistem pamong berpedoman pada falsafah ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangun karso dan pada akhirnya Tut Wuri Handayani.

 Probo Sutedjo, pengusaha terkenal, yang biarpun sudah berusia lebih dari 80 tahun, sebagai pejuang Tamansiswa yang tidak kenal lelah, dengan antusiasme yang tinggi, menawarkan jasa baiknya untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan setiap perguruan tinggi melalui pengembangan kegiatan ekonomi. Melalui kegiatan ekonomi itu diharapkan dapat didukung pemeliharaan dan pengembangan sarana pendidikan seperti peningkatan sarana dan mutu guru tenaga pengajar serta melengkapi sarana dan mutu pendidikan agar Perguruan Tamansiswa secara terhormat menghasilkan tenaga-tenaga pejuang Dewantara muda yang berkarakter, cinta sesama anak bangsa serta peduli terhadap sebanyak-banyak rakyat yang masih menderita untuk dientaskan dari lembah kebodohan dan kemiskinan.

 Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri, yang mendapat petunjuk pendiri Yayasan Damandiri, Almarhum HM Soeharto, untuk membantu perguruan Tamansiswa, secara bertahap telah mengembangkan perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta dan Padang. Mulai tahun 2012 akan dikembangkan perguruan tinggi Tamansiswa di Palembang, Jakarta dan Banjarnegara. Beberapa perguruan tinggi itu telah dibantu ditingkatkan mutu tenaga dosennya sehingga dalam waktu singkat tidak ada lagi dosen berbagai perguruan tinggi itu yang belum menamatkan pendidikan S2 atau S3.  Pada waktu bersamaan akan diundang lebih banyak dosen atau tenaga penganjar dengan reputasi nasional dan internasional.

 Haryono mengingatkan pandangan Ki Hadjar Dewantara yang mengarahkan perjuangan terfokus pada bidang pengajaran dan pendidikan itu, didasarkan atas anggapan bahwa perjuangan melalui perang hanya akan diperoleh kemerdekaan secara fisik, yaitu lepas dari penjajahan. Akan tetapi, perjuangan melalui pengajaran dan pendidikan dapat diperoleh kemerdekaan secara total, yaitu merdeka secara fisik, merdeka pikirannya, dan merdeka batinnya. Lebih lanjut ditegaskan bahwa pendidikan yang diberikan haruslah memberi pembekalan yang luas dalam kecakapan hidup (life skills) sehingga rakyat, dalam istilah beliau, dapat makaryo, yang mengantar rakyat banyak menjadi keluarga dan masyarakat yang bahagia dan sejahtera secara mandiri.

 Secara filosofis Ki Hadjar Dewantara juga memberikan pesan bahwa melalui pendidikan yang bermutu dan ditujukan secara luas kepada sebanyak-banyak rakyat, akan tumbuh kebersamaan yang sangat luas, adil dan menimbulkan gerakan yang cerdas sehingga rakyat banyak bisa bersama-sama mengenyam kesejahteraan yang lebih merata. Tekanan Ki Hadjar Dewantara pada rakyat banyak itu dilandasi oleh kekecewaan dan keprihatinan yang mendalam akan nasib dan kekuatan yang dimiliki rakyat banyak pada masa itu. Kita kutip : “Pengajaran gubernemen, yang seolah-olah dijadikan contoh dan umumnya dianggap sebagai usaha untuk menjunjung derajad kita, sudah ternyata tak memberi penghidupan pada kita, yang sepadan dengan cita-cita kita sebagai rakyat yang berusaha akan mendapat keselamatan. Hingga kini nasib kita semata-mata hanya memberi manfaat kepada bangsa lain. Pengajaran yang kita terima dari pemerintah (Belanda) itu pertama kali sangat kurang, kedua kalinya sangat mengecewakan sebagai alat pendidikan rakyat”.

 Sebagai seorang pemimpin yang visioner, Ki Hadjar Dewantara melihat yang orang lain tidak melihatnya, memprediksi bahwa jaman akan berubah sehingga manusia Indonesia harus dipersiapkan untuk mengantisipasi perubahan tersebut secara dini. Penduduk dan keluarga pribumi, rakyat banyak, yang mungkin saja pada waktu itu bukan pemimpin bangsanya, karena tidak dilahirkan sebagai anak raja atau pemimpin di wilayahnya, pada waktunya akan memperoleh kesempatan menjadi pemimpin. Untuk persiapan itulah, Ki Hadjar Dewantara sebagai pemimpin visioner mengajak perguruan Tamansiswa berbagi ilmu dan mengajak teman-teman sejawatnya untuk melakukan hal yang sama. Ki Hadjar Dewantara juga mengajak rakyat untuk tidak puas dengan keadaan dirinya, berbagi semangat dan menciptakan harapan masa depan yang dinamis.

 Dalam perjuangan yang tidak pernah pudar, Ki Hadjar Dewantara mengajarkan kepada rekan-rekan seperjuangannya untuk melihat sekitarnya dalam rangkaian budaya multi plurarisme yang dinamis. Ki Hadjar Dewantara mengajak guru-guru sekolah dan murid-murid sekolah Tamansiswa untuk memahami masyarakat dengan terjun langsung ke desa dan pedukuhan. Mereka diajak mengenal budaya bangsanya, mengenal peradaban tanpa meninggalkan perjalanan pemikiran dalam ilmu pengetahuan. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri).