MEMBAWA POSDAYA KE FORUM INTERNASIONAL

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Pada pertengahan bulan lalu, dalam Konperensi International, Second ASIA Engage Regional Conference di Bali, Yayasan Damandiri memperoleh kesempatan mengisi Pidato Utama membawakan pengalaman membangun dan mengisi pemberdayaan keluarga melalui Posdaya. Konperensi itu membahas inovasi dan kreatifitas untuk membangun kebersamaan dengan komunitas desa menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyat di wilayah Asean dan daerah lainnya. Konperensi itu adalah bagian dari kegiatan bersama negara-negara di dunia.

  Secara sederhana disampaikan kepada para pakar dan praktisi dunia bahwa upaya pengembangan kerjasama dengan masyarakat desa perlu dilakukan melalui pendekatan positif yang memberikan penghargaan kepada masyarakat di pedesaan bahwa mereka tidak bodoh. Mereka tidak apatis tetapi selalu kreatif untuk bertahan hidup dalam segala keterbatasan. Masyarakat desa prihatin dan sanggup hidup dalam keadaan terjepit sehingga berbekal sikap positif itu para penggerak masyarakat siap menggalang kebersamaan dengan masyarakat desa.

 Kesiapan mental positif itu membawa pesan kepada masyarakat desa bahwa mereka tidak akan dijadikan obyek dari garapan “proyek” yang menghasilkan uang, tetapi suatu upaya membangun mitra pembangunan. Mitra bekerja sama yang akrab untuk mencari solusi yang mudah diterapkan di pedesaan. Solusi yang keluarga di pedesaan bisa dan sanggup menjadi pemain yang utama. Keluarga desa tidak perlu harus selalu menjadi obyek atau garapan proyek yang dari tahun ke tahun harus melakukan hal-hal yang sama, tetapi tidak membawa perubahan atau perbaikan keadaannya sama sekali.

 Prinsip utama yang diperkenalkan adalah bahwa keluarga desa menjadi pemain, pemrakarsa dan akhirnya menjadi pemelihara yang merasakan kegagalan sebagai kesempatan untuk bangkit. Kegagalan menjadi momentum untuk mencari solusi dan kebebasan yang diarahkan untuk maju dan berhasil. Proses pendekatan positif itulah yang menjadi dasar filosofis gerakan pemberdayaan yang memberi kepercayaan kepada masyarakat untuk membentuk, membina dan mengisi Posdaya di desanya. Posdaya diisi dengan masukan secara bertahap seakan keberhasilan suatu tahap bisa dan menjadi pupuk untuk makin percaya diri. Keberhasilan menjadi awal langkah berikutnya sehingga keluarga desa merasa bisa bangkit dalam tahapan yang bersifat mandiri.

 Makin lama berada dalam kebersamaan di lingkungan Posdaya bisa mengembangkan prakarsa yang oleh rekan sesama anggota Posdaya makin dipercaya sebagai kemandirian yang membanggakan sehingga dari kalangan sendiri muncul gagasan-gagasan inovatif yang tidak pernah mereka bayangkan. Keluarga miskin bangkit bergairan meniru sikap pantang mundur keluarga lain yang berhasil. Perasaan dan sikap “putus asa”, nrimo” dan “pasrah” menipis dan akhirnya tumbuh budaya baru ingin dan siap bekerja cerdas dan keras pantang mundur.

 Dalam pidato kunci itu dijelaskan secara jujur bahwa garapan mengajak masyarakat desa tidak serta merta bisa menjadi gerakan yang murni berasal dari bawah. Gerakan itu, seperti halnya seseorang yang mengikuti suatu ujian di sekolah, harus dimulai menggarap masyarakat yang mudah menerima inovasi terlebih dahulu. Gerakan itu didukung penggunaan strategi dan kegaitan komunikasi, informasi dan edukasi yang jelas dan gegap gempita. Masyarakat yang menerima gagasan dan bekerja baik ditarik ke atas menjadi contoh yang dianggap luar biasa. Dengan contoh nyata dari kalangan sendiri, masyarakat lain yang merasa tidak berada dalam posisi yang tidak banyak berbeda merasa bisa. Dari situ, satu demi satu masyarakat lain akan bergabung. Gabungan itu akhirnya akan menjadi gumpalan es yang maha dahsyat dan tidak bisa dibendung lagi. Surat edaran yang datang dari otoritas resmipun akan sukar menghambat kekuatan dongkrak untuk kemajuan yang membawa hasil bagi masyarakat itu.

 Proses tanggapan positif itu datang dari masyarakat luas, perguruan tinggi yang menjadi pengerak upaya pemberdayaan keluarga, dengan kecepatan yang luar biasa. Peserta perguruan tinggi yang semula bisa dihitung dengan jari, dewasa ini telah merambah menjadi lebih dari 320 Perguruan Tinggi negeri dan swasta. Jumlah Posdaya yang semula hanya ratusan, sekarang telah mencapai lebih dari 35.000 dengan penambahan lebih dari sepuluh ribu setiap tahunnya. Pemerintah daerah yang semula malu-malu mengikuti gerakan ini, kabupaten demi kabupaten, kota demi kota, provinsi demi provinsi, menempatkan Posdaya sebagai ujung tombak pembangunan keluarga di desa dan pedukuhan.

 Penyegaran budaya hidup gotong royong dalam bidang kesehatan, pendidikan dan pemeliharaan lingkungan sederhana berkembang menjadi kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi tidak hanya meminta sumbangan tenaga sukarela. Kegiatan ekonomi meminta kerelaan imbalan uang dari setiap partisipan. Kegiatan ini merupakan bukti nyata bahwa pemberdayaan keluarga mencapai pengorbanan yang tertinggi. Keluarga miskin menjadi aktor pembangunan dan dengan bangga berkata, aku bisa, kita bisa, kita sejahtera dan Indonesia Jaya! (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri, www.haryono.com).