MENGENANG SEJARAH UNTUK MAJU

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Para ahli sejarah selalu memberikan tekanan bahwa belajar dan mengenang sejarah bukan semata-mata ingin menggali masa lalu dan bernostalgia, tetapi ada garis merah yang bisa dan perlu dipelajari sebagai bahan pemikiran yang berguna untuk masa depan. Mempelajari dan mengenang sejarah untuk lebih maju. Bangsa Indonesia adalah bangsa pejuang, sehingga mengenang sejarah adalah mempelajari hari-hari kebangkitan nasional di tahun 1908, 1928 dan masa-masa berikutnya para sesepuh bangsa berjuang membangun dan mempertahankan keutuhan, persatuan dan kesatuan untuk membangun negara kesatuan Republik Indonesia yang maju, mandiri dan jaya. Hasil dari pelajaran sejarah dan ramuan masa depan adalah lahirnya kekuatan bangsa yang berhasil mengusir penjajah yang kekuatan fisik dan militernya sangat tinggi diatas kekuatan para pejuang bangsa Indonesia, tetapi mempunyai cita cita dan langkah yang berani untuk melanjutkan perjuangan bangsa.

 Karena itu pada waktu kerabat Almarhum Jenderal Besar HM. Soeharto merenovasi kediaman masa kecil dan meresmikannya pada tanggal 1 Maret lalu, banyak tokoh dan sisa-sisa rekan seperjuangan yang hadir. Mereka mengenang pak Harto dengan segala variasinya sesuai dengan pengalaman pribadi dan penghargaan terhadap negarawan itu dalam memimpin bangsa selama 32 tahun. Disamping itu banyak pula yang mengenang perjuangannya dalam detik detik setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.

 Oleh ahli sejarah diakui bahwa proklamasi kemerdekaan tidak serta merta melahirkan negara kesatuan RI yang kompak dengan segala infrastruktur dan jajaran menterinya yang dengan mudah mengasuh negara dan bangsa yang besar ini. Sebagian dari wilayah RI tetap diduduki oleh penjajah, dari Jepang dan kemudian kepada Belanda yang mencoba bertahan dengan segala akal liciknya. Perjuangan dengan proklamasi bukan segala-galanya. Para prajurit yang segera dibentuk setelah proklamasi, UUD 1945 yang disyahkan dan segala perangkat menteri yang didudukan dalam kursinya masing-masing tidak seluruhnya bisa melaksanakan tugas dan kewajibannya. Belanda yang menguasai hampir seluruh wilayah tanah air masih tetap bercokol dan kepingin kembali karena pengalaman masa lalu yang indah dan menarik.

 Ibukota yang gawat di Jakarta terpaksa dipindah ke Yogyakarta, namun ibukota inipun diduduki Belanda sehingga para prajurit yang belum terlalu kuat terpaksa harus mengungsi ke desa dan gunung-gunung melakukan gerilya untuk merebut kembali Ibukota yang kemudian di duduki oleh Belanda dengan segala macam dalihnya. Pada tanggal 1 Maret, yang kemudian dipergunakan untuk menandai diresmikannya renovasi kediaman Jenderal Besar HM. Soeharto di Kemusuk, Yogyakarta, Letkol Muda Soeharto melakukan serangan besar-besarnya merebut kembali Ibukota RI itu untuk selama enam jam. Peristiwa itu terkenal sebagai peristiwa enam jam di Yogyakarta. Biarpun hanya berlangsung selama enam jam, tetapi Letkol Soeharto dan pasukannya bisa membuktikan bahwa Republik Indonesia masih ada dan sanggup melawan Belanda dengan menduduki kembali kota Yogyakarta. Serangan enam jam di Yogyakarta dilanjutkan dengan perjuangan gerilya yang luar biasa selama berbulan-bulan, sehingga pada tanggal 22 Juni 1949, terpaksa Belanda menyerah dan mengembalikan Yogyakarta sebagai ibukota negara kesatuan RI. Pada tanggal 29 Juni tahun yang sama, keluarga yang mengungsi bersama-sama kembali kumpul dengan keluarganya.

 Kalau tanggal 1 Maret dicacat dan diperingati sebagai simbul eksistensi Negara Kesatuan RI, maka tanggal 29 Juni telah ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional yang memberi arti bahwa keluarga Indonesia yang tadinya ikut mengungsi di pegunungan, di desa dan di tempat-tempat terpencil lainnya, kembali lagi berkumpul dengan keluarganya di desa, ke rumah masing-masing di kota atau tempat tinggal lainnya untuk mulai bergerak membangun keluarga menjadi keluarga nasional yang bersatu dan terpadu. Keluarga yang berkumpul dalam suasana merdeka itu mempunyai komitmen dan tekad membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera mengisi kemerdekaan dengan kerja cerdas dan keras demi masa depan negara kesatuan yang kokoh, aman, damai dan sejahtera.  (Prof. Dr. Haryono Suyono, Mantan Menko Kesra dan Taskin).