MENDUKUNG BEKERJA CERDAS DAN KERAS

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Suasana tahun baru baru saja berakhir. Kita lihat para pengusaha dan para pekerja kembali dari liburannya ke berbagai obyek wisatu untuk bekerja kembali membuka lembara baru bekerja dengan cerdas dan keras agar tahun 2015 yang penuh tantangan bisa diselesaikan dengan keuntungan yang lebih besar sehingga pada akhir tahun dapat diperoleh hadiah tahunan yang lebih besar untuk dinikmati bersama keluarga berlibur melepaskan kepenatan dan tekanan yang tidak ringan selama bekerja satu tahun penuh. Keperluan liburan itu sangat penting agar diperoleh kesegaran jasmani dan rohani untuk menghasilkan gagasan yang segar, maha dahsyat dan dapat disumbangkan kepada perusahaan menghasilkan produk yang tidak saja laku jual tetapi membawa untung yang melimpah dan berkelanjutan.

 Pada tahun 1990-an, tatkala upaya pengentasan kemiskinan tidak lagi bisa berjalan lancer melalui luberan keuntungan usaha kepada rakyat kecil, Presiden Soeharto mengajak para pengusaha untuk menyisihkan sedikit keuntungan usahanya sebagai dukungan untuk upaya yang besar itu. Dukungan pengusaha itu tidak menghilangkan kewajiban pemerintah untuk mengembangkan program khusus untuk mengatasi dan mengurangi kemiskinan. Diciptakanlah oleh pemerintah, melalui Inpres Desa Tertinggal, bantuan secara terpadu untuk sekitar 20.000 desa tertinggal. Desa tertinggal yaitu desa yang proporsi penduduk miskinnya tinggi.

 Pada Desa tertinggal itu dilakukan upaya terpadu yang secara langsung ditujukan untuk meningkatkan dukungan infrastruktur agar keluarga miskin bisa mengembangkan usaha dengan dukungan yang lebih memadai.  Disamping itu dikembangkan program dan kegiatan keluarga miskin serta pemberdayaan masyarakat untuk mendukung keluarga miskin itu dalam usahanya. Kegiatan terpadu itu berlangsung tidak saja dalam satu tahun, tetapi beberapa tahun dengan dukungan yang berkelanjutan. Keluarga dan penduduk miskin secara khusus dijadikan sasaran dan target kegiatan yang terpadu dan dikawal dengan tenaga sukarela yang secara khusus menjadi pendamping keluarga di desanya. Sayang pada awal tahun 2000-an, pada masa Orde Reformasi program dan kegiatan dukungan itu dihentikan, atau diganti dengan focus yang tidak lagi terarah dengan baik sehingga kegiatan awal yang tertata itu hilang dari peredaran.

 Pada desa-desa yang dianggap tidak tertinggal, keluarga miskin diharapkan menunggu waktu untuk memperoleh giliran mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti Saudaranya di desa tertinggal. Tetapi Presiden tidak tinggal diam. Bersama kalangan BKKBN, yang pada waktu itu mempunyai peta keluarga yang lengkap tentang tahapan keluarga, dirangkum jumlah keluarga pra sejahtera dan kelaurga sejahtera I yang ada. Ternyata di desa-desa tidak tertinggal, jumlah keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I itu lebih banyak dibandingkan keluarga dalam posisi sama di desa yang tertinggal. Keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I tidak selalu miskin dalam arti pendapatannya sangat rendah, tetapi dengan pergolakan sedikit saja hampir pasti mudah jatuh miskin.

 Presiden Soeharto menghimbau para pengusaha agar menyisihkan sedikit keuntungan usahanya sebagai bukti rasa peduli terhadap sesame anak bangsa. Himbauan itu ditanggapi dengan baik sehingga dengan dana yang disumbangkan oleh para pengusaha dan keluarga kaya itu keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I diberikan buku tabungan dengan isian sebesar US$ 1.00 atau setara dengan Rp. 2000,- . Kepada keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I itu dianjurkan untuk menabung agar di kelak kemudian hari dapat hidup secara mandiri. Untuk menabung lebih banyak, keluarga sasaran yang jumlahnya sekitar 13 juta, diajak untuk membuka usaha ekonomi produktif atau ekonomi mikro. Mereka diajak belajar mengolah bahan baku yang melimpah ada di sekitar rumahnya di desa.

 Untuk modal awal, bagi mereka yang telah menerima buku tabungan dan bersedia bekerja keras, diberi kesempatan untuk meminjam uang dari Bank BNI sebesar sepuluh kali tabungannya tanpa agunan. Karena itu dengan buku tabungan sebesar Rp. 2.000,- maka setiap keluarga miskin bisa meminjam Rp. 20.000,-. Uang itu cukup untuk membuka usaha kecil-kecilan seperti dagang nasi pecel, bikin peyek, atau bersatu sesame keluarga tetangganya untuk membuka usaha industry rumah tangga atau dagang dengan lebih besar. 

 Selanjutnya keluarga yang meminjam modal itu diharuskan menabung sebesar sepuluh persen dari pinjamannya. Karena itu tabungan para peminjam naik menjadi Rp. 4.000,-. Dengan jumlah tabungan sebesar itu, apabila pinjaman pertamanya selesai dilunasi, maka keluarga itu bisa meminjam kembali duakali lipat sebesar Rp. 40.000,- sehingga usahanya bisa menjadi lebih besar. Apabila bergabung dengan tetangganya maka usahanya bisa lebih besar lagi. Dengan cara demikian setiap keluarga bertambah rajin meminjam, berusaha dan menabung sehingga akhirnya bisa menjadi pengusaha yang lebih besar modalnya. Dalam skim dan kegiatan ini tidak dikenal pemberian uang secara Cuma-Cuma sehingga setiap keluarga harus berusaha bekerja secara cerdas dan keras untuk memajukan usahanya. Tetangga yang lebih mampu harus peduli dan membeli produk yang dihasilkan oleh keluarga tetangganya yang berusaha untuk maju itu.

 Program itu dinamakan Takesra dan Kukesra. Jumlah keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I yang menabung mencapai sekitar 13,6 juta keluarga dari seluruh Indonesia. Bank BNI memerlukan waktu sekitar satu tahun untuk membagikan buku tabungan yang berisi nilai uang Rp. 2.000,- itu kepada setiap penabung di pedesaan. Sampai akhir tahun 2000 jumlah penabung yang mengambil kredit adalah 13,6 juta dengan nilai yang cukup besar untuk modal usaha industry dan perdagangan mikro yang memberi hidup lebih nyaman kepada sekitar 13 juta keluarga pra sejahtera di Indonesia. Sayangnya program itu terpaksa dihentikan karena lembaga yang bertanggung jawab merasa terbebani dan menghentikan kegiatan itu dengan mengorbankan keluarga yang sedang berusaha untuk maju itu. Padahal banyak keluarga yang mulai berubah dari keluarga yang biasa menunggu bantuan menjadi keluarga yang aktif mengakses dan memproduksi bahan baku yang melimpah di desanya.

 Kedua skim, IDT dan Takesra Kukesra, pengembangan koperasi yang marak dewasa itu serta pengaruh pembangunan lainnya menghasilkan penurunan kemiskinan yang signifikan pada waktu itu, yaitu tingkat kemiskinan sekitar 11 persen seperti halnya sekarang. Hasil yang gemilang itu mendorong UNDP, suatu lembaga PBB yang bergerak dalam bidang pengentasan kemiskinan, menghargai usaha yang gegap gempita dan terpadu itu. Direktur Jendral UNDP dari New York datang ke Jakarta dan memberikan penghargaan khusus kepada pemerintah RI berupa Plakat PBB untuk pengentasan kemiskinan. Apresiasi dunia dicatat dengan tinta emas pada tahun 1997 sebagai Negara yang berhasil mengentaskan kemiskinan dan kebodohan. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri,www.haryono.com).