GERAKAN MASYARAKAT LANSIA PEDULI

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Dalam rangkaian peringatan Hari Lansia Nasional (HLUN) 2013 yang dimulai pada tanggal 2 Mei 2012, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional 2012 di Kantor Pengurus Pusat PB PWRI Jakarta telah diadakan Lomba Gotong Royong membuat Tumpeng, sekaligus untuk memperingati Hari Kartini 2013. Melalui Lomba Gotong Royong yang diikuti oleh wakil-wakil Kelompok Lansia dari Jakarta dan sekitarnya ini terkumpul hampir 20 peserta dengan 20 tumpengnya sehingga Panitia tidak perlu lagi menyediakan konsumsi makan siang untuk acara syukuran dan pertemuan besar untuk memulai Peringatan Hari Lansia 2013.

 Pada saat yang bersamaan digagas pula perluasan Koperasi Wredatama yang semula hanya beranggotakan para pensiunan pegawai negeri dan BUMN, karena tekad para anggota PWRI untuk peduli tiga generasi, maka koperasi itu dibuka untuk umum, generasi muda dan generasi remaja, sehingga keanggotaan dan kegiatannya bertambah luas. Para anggota lansia yang terdiri dari Lansia Muda, mereka yang berusia di bawah 70 tahun, Lansia Dewasa, yang berusia antara 70 – 80 tahun, dan Lansia Paripurna yang berusia diatas 80 tahun, berfungsi lebih pada tut wuri handayani, artinya menjadi pelindung dan pengarah gerakan koperasi yang anggotanya makin luas tersebut.

 Perkembangan baru ini memungkinkan Koperasi Wredatama memperluas usahanya memenuhi kebutuhan di luar kebutuhan pensiunan dan mengembangkan usaha diluar kantor pusatnya di Jakarta. Dewasa ini bersama koperasi primair di Kulon Progo, Bantul dan Pacitan telah dikembangkan Pusat Kulakan yang bersama Pemerintah Kabupaten mensponsori pembentukan Warung yang dimiliki keluarga miskin yang mau bekerja keras. Untuk membuat warung keluarga miskin, dengan jaminan koperasi meminjam dari Bank mendirikan warungnya, mengisi warung dengan barang dagangan yang dibeli dari pusat kulakan. Dengan cara itu warung-warung tidak harus belanja secara eceran, tetapi membeli barang melalui koperasi kulakan dengan harga yang lebih ringan, sehingga menghsilkan keuntungan yang tinggi.

 Lebih dari itu, karena bekerja bersama dalam suatu koperasi, maka setiap Koperasi Kulakan telah dapat menghimpun antara 50 – 150 warung, dan karena itu secara tidak langsung ikut serta memberi pekerjaan kepada keluarga miskin. Setiap warung tidak selalu dikelola oleh sebuah keluarga miskin. Ada satu warung yang dikelola secara bersama oleh lima keluarga, sehingga secara gotong royong warung itu menugasi anggota dari lima keluarga untuk belajar bekerja keras, mengambil barang, mencari barang dagangan lain yang lebih murah, mencari pelanggan, dan seperti Toko Besar di kota-kota besar memelihara dan memanjakan langganan dengan mengantar pesanannya ke rumah-rumah pelanggannya. Keluarga miskin menjadi “juragan modern” yang luar biasa.

 Kalau kita mengunjungi warung-warung itu dan membayangkan kehidupan keluarga pemilik warung yang mendadak, karena dukungan PWRI, para lansia, mendapat kesempatan untuk menjadi “juragan” timbul rasa bangga dari anggota lansia yang dalam usia lanjut masih bisa memberi kesempatan generasi yang lebih muda melepaskan diri dari lembah kemiskinan. Suatu amal ibadah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

 Biarpun pada tingkat awal usaha Kulakan itu agak aneh dan alot, tetapi di beberapa kabupaten yang mendapat dukungan komitmen yang sangat tinggi dari Bupatinya itu makin lama usaha warung keluarga miskin itu makin maju. Melihat kemajuan itu Wakil-wakil dari Pengurus PWRI di beberapa Kabupaten lain seperti Malang, Banyuwangi dan Indramayu mulai tertarik dan dengan kerjasama dengan koperasi primair lain akan mengembangkan koperasi sekunder untuk melakukan hal yang sama. Para Bupati memberi kemudahan dengan cara memberi pinjaman kantor dan gudang, sehingga koperai itu tidak perlu mengeluarkan modal yang besar untuk membangun kantor, toko dan gudang. Bank Bukopin, Bank BPD dan Bank BPR setempat mengulurkan tangan dalam rangka kebijakan Financial Inclusion ikut mempermudah prosedur pinjaman dan keringanan bunga cicilan pada tingkat awal.

 Disamping itu pengusaha-pengusaha besar yang biasa memasok barang secara besar-besaran, dalam rangka menolong keluarga miskin mulai melirik dan mempergunakan jaringan ini sebagai wahana bhakti sosial yang tidak merugikan dengan memasok barang secara reguler dan pembayaran cicilan yang diperingan. Upaya ini saling tidak merugikan, tetapi memberi makna yang luar biasa pada upaya pengentasan kemiskinan tanpa harus memberikan dana hibah atau BLT yang tidak mendidik. Keluarga miskin dengan fasilitasi yang akrab dapat dipercaya dan mau bekerja keras membanting tulang mendidik generasi yang lebih muda untuk menjadi pengusaha yang bersifat sosial dan menguntungkan semua kalangan.

 Dari pengalaman di tiga kabupaten itu dapat dipelajari bahwa setiap kabupaten minimum diperlukan sekitar 100 – 150 warung di desa serta sekitar 1000 pembeli pelanggan desa untuk menjamin bahwa persediaan barang kebutuhan sehari-hari dapat disediakan di gudang tanpa harus menanggung rugi. Persediaan barang yang tidak seluruhnya dibayar lunas pada saat membelinya memberi keuntungan yang lumayan. Barang-barang yang bersifat “fast moving” dengan margin keuntungan yang tinggi menutup ongkos manajemen. Kebutuhan bahan pokok seperti beras misalnya, biarpun lebih cepat laku, karena banyak yang menjual komoditas yuang sama, tidak bisa menutup ongkos tenaga kerja dan keperluan warung seperti biaya listrik dan honor petugas. Pelatihan wira usaha yang akhirnya ikut mengentaskan kemiskinan dan peran lansia yang tetap peduli terhadap tiga generasi.  (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Umum PWRI).