MENEBAR ISUE MENCARI KAWAN

Oleh: Prof Dr Haryono Suyono

Pada awal tahun seperti ini ada baiknya kita semua berbenah diri untuk mencari dan merumuskan isue bersama sebagai acara untuk mengundang kawan, bukan untuk membuat atau mengembangkan lawan baru yang lebih banyak. Kita masih ingat bahwa pada tahun 1960-an, para dokter ahli kandungan dan tokoh-tokoh sesepuh yang peduli terhadap kesehatan ibu dan anak sangat prihatin melihat kesehatan ibu dan anak yang makin merosot. Keadaan itu disebabkan oleh kejadian yang sebenarnya menggembirakan, yaitu berkat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah RI makin mantab mempertahankan kemerdekaan, mengusir penjajah Belanda yang ingin menguasai kembali tanah air Indonesia.

Para pejuang yang bergerilya di pegunungan dan di desa-desa kembali ke kampung halaman masing-masing. Korban yang berjatuhan, cacat dan meninggal dunia tidak terkira banyaknya, mereka rasakan perlu segera diganti kembali. Sehingga secara naluriah, keberhasilan pemerintah RI menguasai keadaan memungkinkan keluarga yang tercerai berai, yang suami dan isterinya terpisah, dan anak muda yang menunda pernikahannya, beramai-ramai kembali berkumpul dengan keluarga dan sanak saudaranya. Kegiatan yang segera dilakukan adalah melaksanakan kehidupan keluarga kembali normal, layaknya keluarga biasa dalam suasana damai, tidak ada lagi peperangan, anak muda berpacaran dan yang sudah punya keluarga kembali dalam kehidupan keluarga yang biasa-biasa lagi.

Bagi keluarga muda, suami isteri, keadaan damai itu memberi kesempatan berkumpul dengan keluarga bukan hanya diisi dengan merenung karena kehilangan anggota atau salah satu anggota keluarganya, tetapi secara naluriah, tanpa komando siapapun, banyak suami isteri melanjutkan kehidupan layaknya sepasang suami isteri normal, aktifitas hubungan suami isteri biasa. Isteri yang semula tidak mengandung karena ditinggal suami berjuang di pengungsian atau di gunung-gunung ikut perang gerilya, segera berubah statusnya menjadi isteri yang secara seksual aktif dan akibatnya mengandung kembali. Secara naluriah, karena keadaan merdeka lebih memberi harapan, kegiatan mengandung itu hampir-hampir seperti dianjurkan, dengan lebih bebas, lebih sering, hampir tidak ada yang membatasi lagi.

Padahal keadaan infrastuktur kesehatan masih sangat minim, porak poranda karena pertempuran dan bahkan mungkin lebih buruk karena pemerintah belum sempat menata dengan baik. Belanda sudah kabur dan penjajahan Jepang tidak meninggalkan bekas yang berarti. Oleh karena itu, akibatnya banyak ibu meninggal dunia karena mengandung dan melahirkan. Dokter-dokter ahli kandungan yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, tenaga perawat bidan yang juga tidak seberapa, kewalahan menangani kasus-kasus kehamilan yang bertambah rapat dengan tingkat kelahiran yang meningkat. Dukun bayi yang ahli menangani persalinan normal tidak mampu pula menangani kasus kelahiran yang terlalu sering dan terlalu rapat.

Sebagai profesional yang jumlahnya terbatas, dokter-dokter ahli kandungan muda melihat keadaan itu sebagai masalah, tetapi masyarakat pada umumnya melihat kematian ibu hamil dan anak-anak balita sebagai kejadian biasa, bahkan dianggap sebagai takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Para suami yang kehilangan isterinya karena mengandung bersikap “nrimo”, bahkan mungkin segera menikah kembali karena tidak kuat menjadi duda muda. Anak-anak yang dilahirkan dan meninggal dunia dianggapnya karena kedua orang tuanya belum diberi ijin oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk momong anak yang dititipkan kepada mereka. Semua berjalan biasa-biasa saja tanpa ada sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau isue yang berarti.

Para dokter muda tersebut tidak kekurangan akal. Mereka sepakat mengembangkan isue tentang kematian ibu hamil dan melahirkan untuk menarik perhatian dan mencari kawan yang peduli dan jumlahnya lebih banyak. Mereka juga mencari kawan yang dekat dengan Menteri atau kekuasaan dalam lingkungan Kementerian Kesehatan di tingkat pusat, atau bahkan yang dekat dengan Presiden dengan harapan agar bisa dihasilkan keputusan politik untuk menyelesaikan masalah yang belum banyak dilihat oleh masyarakat luas itu. Para dokter ahli sadar bahwa pengembangan isue itu penting agar rakyat mendorong pemerintah memberi prioritas yang tinggi terhadap nasib ibu hamil tersebut. Tanpa dorongan yang kuat, hampir pasti pemerintah tidak akan tertarik menangani masalah tersebut karena persoalan lain yang dihadapi masih sangat banyak dan mungkin saja dipandang lebih penting.

Pengembangan isue melalui kelompok yang sama nampaknya tidak menghasilkan goyangan yang gegap gempita, sehingga para para dokter itu sepakat mengajak rekan-rekan yang tidak sama profesinya saja, tetapi juga rekan rekan dari profesi lainnya. Kumpulan dokter itu berubah menjadi kumpulan pemerhati masalah yang mempunyai kesadaran dan komitmen yang makin tinggi. Isue yang dibawakannya membesar dan menyebar ke berbagai bidang dan wilayah yang main meluas. Penyebaran pemerhati yang berkumpul karena persahabatan atau karena makin bisa melihat masalah yang bakal timbul di kemudian hari makin kokoh dan makin sadar akan isue yang dihadapinya.  Kalau pada tingkat awal baru terbatas pada tenaga elite profesional, tetapi lama-kelamaan menjalar kepada kalangan kaum non elite, menjalar kepada masyarakat biasa melalui komunikasi dari mulut ke mulut dan dari satu tangan ke tangan lainnya.

Dari kisah singkat itu kita bisa memetik pelajaran yang berharga. Para sesepuh bangsa ini sama-sama seperti kita, suka mengembangkan isue. Tetapi para sesepuh bangsa itu, tidak seperti sebagian dari kita dewasa ini, bukan melontarkan caci maki, atau mencari kesalahan kawan sendiri, tetapi bersama-sama berusaha membangun kesadaran, menyebar dan meningkatkan pengetahuan, pertama-tama bagi kalangan sendiri, dan kemudian melebar kepada khalayak ramai agar kesadaran itu membawa berkah dan manfaat yang baik untuk umat manusia. Cara “demo” atau penyebarluasan isue semacam itu sungguh menarik dijadikan pelajaran bagi kaum muda dan profesional, maupun generasi muda umumnya di masa kini, yang perlu berpikir positif dan bekerja secara gotong royong untuk masa depan bangsa yang lebih baik. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri)